Jumat, 06 Maret 2009

LOKASI BERSELANCAR DI SUMATERA BARAT

Lokasi berselancar di Sumatera Barat hampir Semuanya terletak di Kepulauan Mentawai

Kamis, 05 Maret 2009

Menari Diatas Ombak Pulau Katiet

ombak di pulau Katiet

Mendengar nama Mentawai,ingatan kita langsung tertuju pada sebuah gugusan kepulauan yang terletak di sebelah barat Propinsi sumatera Barat,Kepulauan yang bagi sebagian orang masih menganggap penduduknya masih primitif
Namun dibalik semua itu gugusan kepulauan ini jauh lebih terkenal oleh peselancar didunia dari pada sumatera barat sendiri.
Hal ini dikarenakan mentawai memiliki ombak yang bagus untuk berselancar,menurut salah seorang peselancar dunia dari australia pada majalah Forbes,Ombak mentawai menduduki rangking ke 3 terbaik didunia setelah hawaii dan Uruguay.
Salah satu tempat selancar yang paling di minati oleh turis manca negara adalah ombak di Pulau Katiet,dekat sioban Kecamatan sipora selatan
Ombak di Pulau Katiet ini biasanya akan sangat bagus pada awal bulan April sampai dengan Bulan Desember.

Ombak besar dan batu karang adalah pemandangan di pantai Katiet
Itu merupakan suatu tantangan yang harus ditaklukkan oleh para peselancar,tidak sedikit para selancar yang tergores tubuhnya oleh batu katiet tapi itu tidak menyurutkan nyali para peselancar malah tambah bersemangat untuk menaklukan keganasan ombak di Pulau Katiet ini
Para peselancar akan terlihat gembira bila ia berhasil menunggangi ombak besar pulau Katiet sampai kepantai.

tSalah satu sudut di pulau Katiet


Info untuk kenyamanan perjalanan wisata anda.

SENJA DI PANTAI MAPADDEGAT

Pantai Mapaddegat , Tua Pejat Mentawai

Pantai Mapaddegat, Kecamatan Sipora, Kabupaten Kepulauan Mentawai adalah oase bagi penghuni ibukota Kabupaten Kepulauan Mentawai, Tuapeijat. Meski hanya menyajikan pantai dan ombak tok, ratusan orang memadatinya setiap minggu, termasuk para pegawai negeri yang bertugas di Mentawai dan keluarga mereka yang kebetulan berkunjung.

Hari libur, Sabtu dan Minggu, tatkala sore dan senja menjelang matahari terbenam adalah waktu terfavorit bagi para pengunjung untuk datang ke Pantai Mapaddegat. Mereka datang secara per orangan atau berkelompok. Jalan kaki, bersepeda motor atau mengendarai mobil dan menumpang angdes (angkutan pedesaan). Tua, muda, remaja, sampai anak-anak, lelaki perempuan senang sekali ke pantai ini. Mereka lalu mengambil tempat di pasir pantai yang lembut. Ada yang duduk memandang laut, ada yang bermain pasir, ada yang berbaring menikmati hembusan angin semilir, ada pula yang langsung buka baju dan menceburkan diri ke air laut yang tenang.

"Airnya bikin kita tergila-gila, begitu tenang dan menghangatkan," ujar Dewi, 23 tahun, anggota keluarga PNS yang bekerja di salah satu instansi. Dewi dan temannya Diana hanya mengunjungi saudaranya di Tuapeijat, tapi begitu melihat Mapaddegat mereka langsung kepincut.

"Nggak nyangka pantainya sebagus ini, padahal dulu bayangan saya tentang Mentawai ini aduuuh, pokoknya serba ketinggalan lah," katanya lagi.

"Pantai Tuapeijat juga bagus, tapi sayang masyarakat sekitar tidak menjaga kebersihannya, bahkan ada yang membuat kakus di pantai, sayang sekali padahal pasirnya jauh lebih halus dan bersih dibanding Pantai Mapaddegat," ujar Diana, 24 tahun, menambahkan. Tanpa segan-segan keduanya mengakui dibanding Pantai Padang (Taplau) Pantai Mapaddegat jauh lebih cantik.

"Kurangnya kan sarana kuliner dan akomodasi saja, selebihnya Mapaddegat toplah," kata Dewi.

Tak ada kata lain selain kata indah, cantik, mempesona ketika berkunjung. melihat dan menikmatinya. Ibaratnya Pantai Mapaddegat itu umpama gadis cantik alami, begitu indah dan anggun. Tanpa BB (bau badan) tentunya!

Pantai yang landai, berpasir halus, teluk yang tenang beriak kecil-kecil, deretan pohon kelapa yang menjadi pagar alami, membuat pengunjung betah. "Hari Minggu rasanya kurang lengkap bila tidak ke Pantai Mapaddegat", kata Ana (18 th), seorang remaja yang hampir tiap minggu sore nongkrong di pantai tersebut.

Sunset, Selancar, Voli Pantai dan Pacaran
Salah satu pesona Pantai Mapaddegat adalah sunset. Matahari yang berubah jingga lalu merah dan perlahan-lahan hilang di balik horizon adalah pemandangan yang tak puas-puasnya dinikmati pengunjung. Padahal sunset itu juga ada di pantai-pantai lain, cuma cara menikmatinya tak bisa disamakan dengan yang di Pantai Mapaddegat. "Bisa sambil tiduran sambil minum air kelapa muda," kata Ida dari Yayasan Citra Mandiri (YCM).

Pasangan muda juga suka sekali menelusuri pantai sambil mengikat janji. Mereka akan berjalan menyusuri garis pantai menuju ke utara. Di batu karang besar atau di pokok kelapa mereka berbagi pose, gantian berfotoria. Tapi karena bagian pantai yang itu sangat sepi banyak juga yang menggelincirkan diri, bermesraan tak terkendali. Sampai-sampai Mateus Samalinggai, artis Mentawai, mengeluh.

"Concaik begini nih yang bikin rusak pantai ini," katanya. Concaik adalah istilah yang dipopulerkan Mateus. Tapi yang namanya anak muda, susah melarangnya. Kerimbunan semak di bibir pantai itu benar-benar menggoda untuk dimanfaatkan. Seperti hotel gratis saja yang siap melayani pemadu cinta. Untuk mengatasi hal ini Plt Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Mentawai, Drs M Tamba, mengatakan akan mengadakan semacam tim patroli pantai, yang akan merazia pantai secara berkala.

Banyaknya surfer (peselancar) yang datang untuk menikmati ombak Mentawai yang katanya nomor dua terbaik di dunia, telah menimbulkan virus surfing ke anak-anak setempat. Maklum, salah satu ombak favorit para surfer ada di lepas Pantai Mapaddegat, namanya teleskop. Panjangnya sekitar 100 meeter. Sepanjang sore di hari Minggu atau hari libur lainnya, para surfer lokal ini memadati muara Sungai Mapaddegat, berselancar di sana. Suaranya riuh rendah penuh gelak tawa dan keriangan bocah-bocah. Peselancar yang remaja lebih suka bermain di ombak yang kadang-kadang membesar saat pantai diterpa badai atau angin kencang.

Jaraknya yang tidak jauh dari pusat ibukota kabupaten, yakni sekitar 6 kilometer membuat Pantai Mapaddegat sangat mudah dicapai. Jalannya juga bagus karena sudah dirabat beton selebar kurang lebih 4 meter.

Bagi warga Dusun Mapaddegat, keindahan pantai ini sempat menimbulkan harapan, karena tahun 2006 Pemkab sempat membangun home stay seharga hampir Rp6 milyar, yang terus dibangun sampai tahun 2008, tapi kemudian ditinggalkan begitu saja tanpa pertanggungjawaban yang jelas, sehingga sekarang menjadi tempat favorit bagi sapi dan kambing untuk berkencan. Gabriela Sapitini dan Martina Kambing Meringis sering terlihat dibawa pacar masing-masing ke sana, karena di situ ada lapangan tenis yang sangat representatif untuk para tamu ekslusif dari mancanegara atau ibukota.

"Harapan kami sirna, karena Pemda lebih suka mengorupsi proyek tersebut," ujar seorang warga Mapaddegat yang mengaku bernama Martinus.

Seperti ingin menebus kesalahan, Drs Tamba mengatakan, berbagai upaya akan tetap dilakukan Pemkab untuk menambah daya tarik Pantai Mapaddegat. "Kita akan selenggarakan berbagai iven di pantai, seperti voli pantai, surfing contest, di samping patroli wisata dan penjaga pantai (baywatch). Itu sudah menjadi program dinas tahun ini," katanya.

Abrasi
Sayangnya ada satu warung di pantai tersebut. Itupun sederhana sekali. Makanan yang dijual tidak beragam dan tampak kurang memenuhi standar higienis.

Selain itu warga terus mengambil pasir pantai untuk dijual sebagai material bangunan. Lama-lama pantai tersebut dikuatirkan bisa rusak tak berbentuk dan masyarakat setempat akan kehilangan sumber ekonomi yang jauh lebih besar dibanding hanya sekedar pasir pantai. Ingat Pantai Gandoriah di Pariaman. Sekarang warga sekitar pantai itu sudah banyak yang kaya karena menjual nasi sek, bukan menjual pasir pantai. (Bambang Sagurung dan Imran Rusli)

Info untuk kenyamanan perjalanan wisata anda.

Bercumbu dengan Ombak Pulau Nyangnyang


"Waves to remember," komentar Arjen Pennekamp, peselancar asal Belanda yang telah menghabiskan 18 hari di Pulau Masokut atau lebih dikenal dengan Pulau Nyangnyang, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.Komentar itu rasanya tidak berlebihan. Dahsyatnya ombak Mentawai membuat kepulauan itu selalu diingat mereka yang pernah mampir ke daerah yang terletak 120 mil dari Kota Padang tersebut. Hampir setiap hari Arjen dan saudaranya, Jelle, dimanjakan gulungan ombak Mentawai yang terkenal di kalangan peselancar dunia. Bahkan ini kali kedua Arjen mengunjungi Mentawai. "Keindahan, ketenangan, kealamian, dan tentu ombaknya yang menantang, itulah yang membuat saya kembali lagi," katanya menjelaskan tentang kehadirannya saat itu.

Pulau–pulau kecil di selatan Pulau Siberut, pulau terbesar di Kepulauan Mentawai, di kalangan para peselancar dikenal sebagai daerah yang memiliki pantai dengan ombaknya yang menantang. Dalam bahasa setempat, ombak disebut koat.

Pulau–pulau kecil itu juga jauh dari kebisingan dan hiruk–pikuk kota yang melelahkan. Wilayah itu dikelilingi pantai berpasir putih, hutan yang hijau, dan udara yang segar.

Selain Nyangnyang, sejumlah pulau lain yang terkenal adalah Pulau Karangmajat, Pulau Masilok, Pulau Botik, dan Pulau Mainuk.

Dahsyatnya ombak di kawasan Kepulauan Mentawai mulai dikenal kalangan peselancar dunia pada tahun 1990. Kondisi ini bahkan membuat Mentawai bisa disinonimkan dengan surfing. Sampai–sampai penduduk sekitar mengistilahkannya sebagai playground atau taman bermain karena banyaknya wahana surfing di pulau–pulau itu.

Perjalanan dari Muara Siberut ke arena surfing di Nyangnyang ditempuh dengan menggunakan perahu bermotor. Diperlukan waktu sekitar dua jam untuk sampai ke Pulau Nyangnyang yang jaraknya sekitar 21 mil dari Muara Siberut. "Biayanya sekali jalan sekitar Rp 450.000. Biasanya kami mengantar mereka, kemudian menjemput setelah satu atau dua minggu," kata Usdek Amin, pemilik usaha penyewaan perahu bermotor di Muara Siberut.

Banyak warga Muara Siberut yang memiliki penyewaan perahu bermotor untuk mengantar dan menjemput turis yang ingin berselancar. Perahu bisa disewa dengan tarif Rp 400.000 hingga Rp 500.000 untuk satu kali perjalanan.

Pagi itu, Usdek hendak menjemput Arjen dan Jelle. Perjalanan ditempuh dengan perahu, melalui Sungai Muara Siberut yang tenang ditemani langit yang cerah dan udara laut yang segar. Di sepanjang perjalanan, kami bertemu dengan penduduk asli Mentawai yang bepergian dengan sampan. Di Pulau Mentawai hampir semua perjalanan ditempuh dengan menggunakan perahu atau kapal karena jalan darat belum memadai.

Di sisi kanan dan kiri sungai terbentang hutan bakau yang lebat dengan berbagai anggota ekosistem yang hidup di dalamnya. Setiba di muara sungai, tampak burung–burung camar yang mencari ikan. Setelah beberapa saat melayang–layang di udara, burung putih itu menukik tajam ke air dan membawa ikan di paruhnya.

Selain pemandangan gugusan pulau–pulau di kejauhan dan hutan belantara yang masih alami, perjalanan menuju arena surfing juga berlangsung melalui perkampungan suku Mentawai di Katurai. Di antara deretan pohon kelapa, tampak rumah–rumah tradisional Mentawai yang disebut uma. Di sekitar muara juga banyak penduduk Mentawai yang membuang sauh perahu mereka untuk mencari ikan. Mereka menebar jala atau memancing.

Sekitar satu jam kemudian tampaklah Pulau Nyangnyang. Di kejauhan, buih–buih putih tampak melaju menuju pantai. Setelah kapal merapat ke pantai, Usdek melambaikan tangan. Tampaklah Arjen dan Jelle membalas lambaian tangannya. "So it’s time to go?" kata Arjen dengan nada tidak rela.

Sebelum mengakhiri liburan mereka di Pulau Nyangnyang, Arjen, Jelle, dan Hendi (19, anak Usdek), mencoba bercumbu dengan ombak dan membawa pulang kenangan yang indah dari Mentawai. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak ke sisi lain pulau yang ombaknya cukup besar.

Pantai yang sepi seolah menjadi milik mereka bertiga. Suasana pulau yang sunyi dan damai semacam itulah yang dicari para pencinta selancar dari seluruh dunia untuk melepaskan kepenatan dan rutinitas. Setelah berenang agak jauh dari pantai, mereka menunggu ombak yang tepat untuk berselancar.

Tidak lama, gulungan ombak besar menghampiri mereka. Saat pucuk ombak masih melayang di udara, para peselancar itu pun berenang di atas papan selancar. Begitu ombak setinggi lebih dari dua meter itu turun menyentuh permukaan air laut, dengan lincah para peselancar itu berdiri di atas papan dan melaju dengan kencang sambil sesekali bergaya.

Pondok sederhana

Di sekitar arena surfing terdapat pondok–pondok sederhana yang bisa disewa sekitar Rp 50.000 per orang per malam. Pondok itu milik penduduk asli Mentawai yang berasal dari Desa Taileleu di seberang Pulau Nyangnyang.

Penduduk Taileleu memiliki pohon kelapa di Pulau Nyangnyang, dan sewaktu–waktu mereka datang untuk mengambil buah kelapa di sana. Sejak Pulau Nyangnyang ramai oleh peselancar yang datang dari berbagai penjuru dunia, beberapa penduduk mulai membuat pondok dan menyewakannya.

Penduduk setempat juga bisa diminta memasakkan makanan yang dibutuhkan para peselancar. Bahan makanan dan perbekalan seperti beras, mi instan, kentang, air minum, sayuran, atau makanan kaleng bisa dibeli di Muara Siberut.

Jika ombak sedang tidak bagus, angin kurang mendukung, para peselancar bisa berjalan–jalan mengelilingi pulau. Hutan yang lebat memang tidak mungkin dijelajahi, tetapi berjalan sepanjang tepi pantai berpasir putih yang mengelilingi pulau tentu sebuah pengalaman yang menyenangkan. Mereka juga bisa melakukan selam rekreasi (scuba diving), snorkelling, atau sekadar mencari ikan di perairan yang jernih.

Biasanya, bulan Juni hingga Agustus merupakan saat terbaik untuk berselancar. "Ombak sedang bagus–bagusnya pada bulan Juli sampai Agustus, bisa sampai tujuh meter tingginya," kata Usdek bangga.

Dimanjakan ombak yang menantang, pemandangan yang indah, suasana yang tenang dan damai, jauh dari ingar–bingar mesin dan deru kendaraan, membuat waktu seolah–olah berhenti. Untuk sementara, di Pulau Nyangnyang hari dan jam bukan lagi persoalan.

Penulis : Fransisca Romana N
Sumber : KOMPAS

Info untuk kenyamanan perjalanan wisata anda.