Kamis, 05 Maret 2009

Bercumbu dengan Ombak Pulau Nyangnyang


"Waves to remember," komentar Arjen Pennekamp, peselancar asal Belanda yang telah menghabiskan 18 hari di Pulau Masokut atau lebih dikenal dengan Pulau Nyangnyang, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.Komentar itu rasanya tidak berlebihan. Dahsyatnya ombak Mentawai membuat kepulauan itu selalu diingat mereka yang pernah mampir ke daerah yang terletak 120 mil dari Kota Padang tersebut. Hampir setiap hari Arjen dan saudaranya, Jelle, dimanjakan gulungan ombak Mentawai yang terkenal di kalangan peselancar dunia. Bahkan ini kali kedua Arjen mengunjungi Mentawai. "Keindahan, ketenangan, kealamian, dan tentu ombaknya yang menantang, itulah yang membuat saya kembali lagi," katanya menjelaskan tentang kehadirannya saat itu.

Pulau–pulau kecil di selatan Pulau Siberut, pulau terbesar di Kepulauan Mentawai, di kalangan para peselancar dikenal sebagai daerah yang memiliki pantai dengan ombaknya yang menantang. Dalam bahasa setempat, ombak disebut koat.

Pulau–pulau kecil itu juga jauh dari kebisingan dan hiruk–pikuk kota yang melelahkan. Wilayah itu dikelilingi pantai berpasir putih, hutan yang hijau, dan udara yang segar.

Selain Nyangnyang, sejumlah pulau lain yang terkenal adalah Pulau Karangmajat, Pulau Masilok, Pulau Botik, dan Pulau Mainuk.

Dahsyatnya ombak di kawasan Kepulauan Mentawai mulai dikenal kalangan peselancar dunia pada tahun 1990. Kondisi ini bahkan membuat Mentawai bisa disinonimkan dengan surfing. Sampai–sampai penduduk sekitar mengistilahkannya sebagai playground atau taman bermain karena banyaknya wahana surfing di pulau–pulau itu.

Perjalanan dari Muara Siberut ke arena surfing di Nyangnyang ditempuh dengan menggunakan perahu bermotor. Diperlukan waktu sekitar dua jam untuk sampai ke Pulau Nyangnyang yang jaraknya sekitar 21 mil dari Muara Siberut. "Biayanya sekali jalan sekitar Rp 450.000. Biasanya kami mengantar mereka, kemudian menjemput setelah satu atau dua minggu," kata Usdek Amin, pemilik usaha penyewaan perahu bermotor di Muara Siberut.

Banyak warga Muara Siberut yang memiliki penyewaan perahu bermotor untuk mengantar dan menjemput turis yang ingin berselancar. Perahu bisa disewa dengan tarif Rp 400.000 hingga Rp 500.000 untuk satu kali perjalanan.

Pagi itu, Usdek hendak menjemput Arjen dan Jelle. Perjalanan ditempuh dengan perahu, melalui Sungai Muara Siberut yang tenang ditemani langit yang cerah dan udara laut yang segar. Di sepanjang perjalanan, kami bertemu dengan penduduk asli Mentawai yang bepergian dengan sampan. Di Pulau Mentawai hampir semua perjalanan ditempuh dengan menggunakan perahu atau kapal karena jalan darat belum memadai.

Di sisi kanan dan kiri sungai terbentang hutan bakau yang lebat dengan berbagai anggota ekosistem yang hidup di dalamnya. Setiba di muara sungai, tampak burung–burung camar yang mencari ikan. Setelah beberapa saat melayang–layang di udara, burung putih itu menukik tajam ke air dan membawa ikan di paruhnya.

Selain pemandangan gugusan pulau–pulau di kejauhan dan hutan belantara yang masih alami, perjalanan menuju arena surfing juga berlangsung melalui perkampungan suku Mentawai di Katurai. Di antara deretan pohon kelapa, tampak rumah–rumah tradisional Mentawai yang disebut uma. Di sekitar muara juga banyak penduduk Mentawai yang membuang sauh perahu mereka untuk mencari ikan. Mereka menebar jala atau memancing.

Sekitar satu jam kemudian tampaklah Pulau Nyangnyang. Di kejauhan, buih–buih putih tampak melaju menuju pantai. Setelah kapal merapat ke pantai, Usdek melambaikan tangan. Tampaklah Arjen dan Jelle membalas lambaian tangannya. "So it’s time to go?" kata Arjen dengan nada tidak rela.

Sebelum mengakhiri liburan mereka di Pulau Nyangnyang, Arjen, Jelle, dan Hendi (19, anak Usdek), mencoba bercumbu dengan ombak dan membawa pulang kenangan yang indah dari Mentawai. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak ke sisi lain pulau yang ombaknya cukup besar.

Pantai yang sepi seolah menjadi milik mereka bertiga. Suasana pulau yang sunyi dan damai semacam itulah yang dicari para pencinta selancar dari seluruh dunia untuk melepaskan kepenatan dan rutinitas. Setelah berenang agak jauh dari pantai, mereka menunggu ombak yang tepat untuk berselancar.

Tidak lama, gulungan ombak besar menghampiri mereka. Saat pucuk ombak masih melayang di udara, para peselancar itu pun berenang di atas papan selancar. Begitu ombak setinggi lebih dari dua meter itu turun menyentuh permukaan air laut, dengan lincah para peselancar itu berdiri di atas papan dan melaju dengan kencang sambil sesekali bergaya.

Pondok sederhana

Di sekitar arena surfing terdapat pondok–pondok sederhana yang bisa disewa sekitar Rp 50.000 per orang per malam. Pondok itu milik penduduk asli Mentawai yang berasal dari Desa Taileleu di seberang Pulau Nyangnyang.

Penduduk Taileleu memiliki pohon kelapa di Pulau Nyangnyang, dan sewaktu–waktu mereka datang untuk mengambil buah kelapa di sana. Sejak Pulau Nyangnyang ramai oleh peselancar yang datang dari berbagai penjuru dunia, beberapa penduduk mulai membuat pondok dan menyewakannya.

Penduduk setempat juga bisa diminta memasakkan makanan yang dibutuhkan para peselancar. Bahan makanan dan perbekalan seperti beras, mi instan, kentang, air minum, sayuran, atau makanan kaleng bisa dibeli di Muara Siberut.

Jika ombak sedang tidak bagus, angin kurang mendukung, para peselancar bisa berjalan–jalan mengelilingi pulau. Hutan yang lebat memang tidak mungkin dijelajahi, tetapi berjalan sepanjang tepi pantai berpasir putih yang mengelilingi pulau tentu sebuah pengalaman yang menyenangkan. Mereka juga bisa melakukan selam rekreasi (scuba diving), snorkelling, atau sekadar mencari ikan di perairan yang jernih.

Biasanya, bulan Juni hingga Agustus merupakan saat terbaik untuk berselancar. "Ombak sedang bagus–bagusnya pada bulan Juli sampai Agustus, bisa sampai tujuh meter tingginya," kata Usdek bangga.

Dimanjakan ombak yang menantang, pemandangan yang indah, suasana yang tenang dan damai, jauh dari ingar–bingar mesin dan deru kendaraan, membuat waktu seolah–olah berhenti. Untuk sementara, di Pulau Nyangnyang hari dan jam bukan lagi persoalan.

Penulis : Fransisca Romana N
Sumber : KOMPAS

Info untuk kenyamanan perjalanan wisata anda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar